Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Sudah Enam Tahun

dahulu kepalaku begitu resisten atas ide bahwa ada suatu masa kita saling lupa tak pernah sedikitpun bertegur sapa atau bersikap seolah cinta yang gegap gempita itu tak pernah ada bahkan untuk melintas saja ide itu di kepala rasanya begitu menakutkan namun hari ini setidaknya menuju enam tahun ketika pada akhirnya kembang api dari cinta itu membakar hasrat kita untuk bersama, ketika pada saat itu semakin bertahan akan semakin sirna menjadi debu dan kian tak kasat mata, ketika pilihan untuk mencanangkan masa depan berganti menjadi melupa bersama-sama atau dilupakan sendirian, manifestasi ketakutan itu telah lama terjadi. sudah begitu jarang terlintas namamu mengusik ketenanganku bahkan telingaku kian lupa akan suaramu sehingga ketika mencoba untuk mengenangmu rasanya seperti menonton film bisu  tapi apakah kita benar-benar lupa? aku menemukan bahwa begitu menarik ketika manusia bisa melawan kodratnya untuk merasakan sesuatu begitu menyakitkan demi menjaga sucinya kesepakatan, batasa...

2018

Teruntuk 2018, Inilah akhir Dari 365 hari yang panjang Dari sebuah perjalanan Teruntuk 2018, Terima kasih Atas semua yang datang dan hilang Atas semua tangis dan rela Atas semua indah dan makna Terima kasih atas rasa Rasa menemukan kemudian kehilangan Rasa perjuangan kemudian kegagalan Rasa cinta kemudian terluka Teruntuk 2018, Maaf telah meyayangi junimu.

Untuk Apa Pagi Datang?

Untuk apa pagi datang? Jika hanya menyediakanku kehancuran Menyuguhiku dengan tangisan Hujan Untuk apa pagi datang? Hari ini aku ingin tak sadar Ingin tergelapar Tanpa kata terujar Untuk apa pagi datang? Jika tanpamu, aku akan selalu malam.

Menyayangimu

Meyayangimu itu penyiksaan Memaksaku untuk terus bergelut dengan perasaan Menyiksa di tiap detak yang dalam sekejap bisa menjadi sesak Bersiap jika saja posisiku terinjak-injak Menyayangimu itu perjuangan Aku harus bersaing dengan orang yang punya satu tujuan Bersikut-sikutan Berdempet-dempetan Menyayangimu itu menyedihkan Kuasaku hanya menaruh perasaan Rasamu kembali tidak menjadi jaminan Kau bisa tiba-tiba menyerah dengan keadaan Tapi, Mengapa menyayangimu itu menyenangkan? Karena, Aku tidak perlu selalu bahagia Aku tidak perlu selalu tertawa Aku tidak takut nestapa Aku hanya perlu kamu Hanya kamu Tak usah kau lakukan ini itu Rasakan saja perjuanganku.

Pindah

Aku merangkaki jalan-jalan buta Mencari setitik cahaya Berharap kau di ujungnya Menyambutku dengan penuh bahagia Namun Sang Maha Dengan sangat seenaknya memberi kuasa Ia membelokanku Menuju tempat yang tak ku tahu Yang ku tahu, Itu semakin jauh darimu Aku ikuti saja Walau tak rela Namun yang kutemukan adalah bahagia Diantara ratapan, kerinduan, dan kehilangan Aku menikmati perjalanan tanpa arah Jalan-jalan buta yang membuatku sadar Aku tak apa-apa tanpamu.

Singkat, Padat, dan Kasar

Kampanyemu membutakan Kau bilang kau ingin memajukan Saat kau diberi amanat Kau ternyata hanya haus kekuasaan Tahi lah. 

Tamu

Hujan datang Dengan jujur Aku menyambutnya Dengan segelas kopi Ia datang Mewartakan kabar Bahwa aku Pulih Atas tangismu Atas dekapmu Atas rindumu Atas relaku.

Berubah

Kita berubah Menyayangimu kini salah Kita kehilangan arah Pipimu kembali basah Maaf, Kata yang selalu jadi juara Atas ketidakmampuan kita Untuk selalu bersama Lalu, Sebeginikah semesta membenciku? Hingga rasa yang begitu tulus tak cukup untukmu Beda, Satu kata pemisah segalanya Renjanaku diubahnya jadi lara Seenak jidatnya. Kau menyerah Aku pasrah Kita berubah.

Tidak Ada Senja

Tidak ada senja hari ini Ia bersembunyi di matamu Penghujan di pipiku Tidak ada senja malam ini Memaksaku berintuisi Memandang langkahmu pergi Tidak ada senja esok pagi Namanya juga pagi Bagaimana sih?

Ahmad Kecil

Ahmad kecil seorang pejuang Ia pandai mencari uang Tiap malam ia berdagang Sambil bergadang Umurnya mungkin tak sampai separuhku Tubuhnya mungil namun tangguh Tiap malam ia menenteng dagangannya di bahu Sambil berteriak parau, "tisu, tisu..." Kakinya terbiasa berjalan jauh Pembelinya bermacam-macam Ada yang butuh Ada yang ibanya luruh Ia kembali ke rumah saat purnama sedang tinggi-tingginya Lalu bangun sebelum sang surya tunjukkan wajahnya Habis, ia harus selesaikan tugas sekolah Demi kejar mimpi-mimpinya Ahmad kecil pemberani Siapapun ia ladeni Ia bahkan tak takut Bambang Preman kekar berwajah garang Ia tetap periang Walau kadang sandalnya putus di jalan Walau kadang lelahnya berbanding terbalik dengan penghasilan Setidaknya ia pulang bawa uang Untuk membantu ibunya tersayang.

Surat Lagi

Masih di Bumi, 12 Oktober 2018 Untukmu, Pahit termanisku. Dimanapun tempatmu Selamat malam. Entah ini suratku yang keberapa untukmu. Berbeda ya? Iya, surat ini takkan menghampiri tanganmu seperti surat-suratku yang lain. Matamu akan melihatnya bersama beberapa pasang mata lain. Kenapa? Loh kok masih tanya. Kau tahu sendiri, menatapku saja kini kau sudah tak sudi. Lalu mengapa hanya selamat malam? Begini, semestaku berhenti berotasi. Iya, benar-benar berhenti. Bagaimana tidak? Mataharinya memutuskan pergi. Ia kini tak punya semangat, bahkan untuk berputar pada porosnya sendiri. Dan disinilah aku, menikmati malam abadi. Bagaimana sudah tak rindu, sudah tak sayang, sudah lupa, atau sudah menemukan pengganti? Bagaimana pun itu kau pasti akan selalu bahagia. Tahu darimana? Feeling saja dari si manusia peka. Ye gak? Tahukah kau aku sedang kehabisan kata? Iya, rasaku ini hanya ingin ditumpahkan. Tak nyaman ia berlama-lama di kepala. Makanya aku terjebak disini menggoreskan ...

Influenza

Aku melemah Pucat pasi Lelah Penat Kesal Badanku terjal Tenggorokku membengkak Peparuku berteriak Kepalaku memberontak Hidungku mencair Melarang oksigen masuk Membeku dan menusuk Tertidur Menahan kesehatan yang mundur.

Berlabuh

Aku mengembara terlalu jauh Kuharap aku sudah berlabuh Menurunkan jangkarku Tepat di hatimu Aku menujumu Pulang Karena kau rumah Untuk rasa yang kusebut sayang Langkahku mencarimu Di dermaga itu Sekadar melepas rindu Atau lancang ingin memilkimu Aku menemukanmu Di bawah senja Yang lebih dulu Terbenam di matamu Kau rekahkan senyummu Kau runtuhkan raguku Kau hancurkan egoku Kau sembuhkan lukaku Jadilah sudah, Aku tenggelam Terlalu dalam Kelak, Kau temukan jasadku Mengambang Di laut asmaramu.

Setelah

Maka disinilah aku Kembali diberi waktu untuk merindu Sayangnya waktunya tak terbatas Menandakan kita telah kandas Sulit juga Merindu tanpa hak untuk berkata Menyayangi tanpa hak untuk berbagi Menerima jika memang telah dilupa Ucapan sayang berubah menjadi bayang-bayang Genggam tangan perlahan tertelan Oleh waktu Lalu semu. Memang akan ada saatnya Rindu tak melulu soalmu Lariku tak selalu mengejarmu Rasaku berubah lupa. Tapi tetap saja Biarkan aku begini Lebih lama lagi Aku nyaman oleh lara Karenamu. Biarkan aku lebih lama melara Biarkan aku lebih lama berharap Biarkan saja Aku hanya tak ingin cepat-cepat terbiasa Tanpamu. Itu saja Kau akan ku kenang Ku sayang Sebagai bukti semesta pernah bercanda Dengan mengirimku bidadari Yang tak bisa kumiliki.

Terjadi Lagi

Terjadi lagi Dan lagi Dan lagi Lagi... Tak tersisa lagi Hancur diterpa tsunami Atau lebih lagi Air mataku tak sanggup keluar Ia membasahi seluruh tubuh Ketika aku sadar Hadirmu tak lagi utuh.

Enam Belas

2 jam menuju malam Jadi saksi Betapa aku mencinta Dengan sejuta ketakutan Mencinta denganmu Untukmu Sekaligus bersiap Jika keesokan harinya kau lenyap Aku harus cepat terbiasa Tak terlalu memusingkan luka yang nanti menancap di dada Karena aku harus segera mengejarmu Berharap kau lelah melangkah Lalu menengokku kembali Sungguh Jika memang hanya skernario itu yang tersedia Aku ingin improvisasi sejadi-jadinya Jika aku memang hanya figuran di kisahmu Aku akan menjelma antagonis yang mencegahmu menemui pangeranmu

Jumat

Jumat pagi itu berbeda Soekarno yang kelelahan merebah Malaria menyerangnya Rasanya baru semalam ia bersama dua rekannya Mencoret-coret sebuah kertas Kertas yang dipercaya Akan melahirkan sebuah bangsa Seminggu ini sibuk untuknya Ia bertentangan dengan Sjahrir dan kawan-kawannya Sepertinya mereka kebelet merdeka Bahkan kemarin ia repot-repot diasingkan ke Rengasdengklok bersama Hatta Demi menuruti permintaan mereka, Darah muda memang keras kepala. Ia tahu ada cukup banyak massa Yang mengelilingi rumahnya Hatta juga sudah ada bersiap untuk mendampinginya Dan ia buka secarik kertas itu Secarik kertas yang akan membuat bangsanya bersatu Secarik kertas yang bercampur darah dan keringat Atas usaha-usaha mengusir kompeni hingga negeri matahari Ia diam, Ia yakin masih bisa menahan sakitnya Ia bangun Fatma istrinya, juga terlihat lelah Semalam suntuk ia menjahit bendera Yang akan dikibarkan di upacara pertama Sebagai sebuah bangsa Soekarno memutuskan banhkit dan ...

Kapan Saja

Kamu tahu? Aku bisa menyakitimu kapan saja Entah oleh perbuatanku Oleh kesalahpahamanmu Atau perbedaan kita Aku tahu itu Aku takut itu Karena menyakitimu akan selalu menyakitkan Dan kecewamu akan sulit dilupakan Di saat itu, Aku takkan bisa dimaafkan Olehmu Atau bahkan olehku. Tapi aku berjanji Aku bisa mebahagiakanmu Setidaknya sebelum itu terjadi Maka bantu aku Agar itu masih lama terjadi Atau takkan pernah terjadi. Semoga aku bisa menemanimu sampai akhir hayat, Tidak meninggalkanmu dengan hati yang tersayat Semoga aku bisa menua bersamamu, Tidak membuatmu menangis diujung waktu. Semoga Aku Tak menyakitimu. Karena tak masalah Jika aku yang berdarah-darah Tapi kamu, Darahku itu untukmu.

Sajak Lelaki

Tidak bisakah wanita sewajarnya? Jika cinta berkata Jika ingin meminta Jika rindu memulai Tidak bisa? Tidak mau? Cukup. Kami lelah Kami bodoh Kami lelah menjadi bodoh. Lakukan Apa yang ada di permukaan Kami tak punya buku panduan Atau kekuatan baca pikiran. Maaf Itu saja Pada akhirnya Kami yang salah.

Amarah

Apa? Apa lagi? Belum puas juga? Kau diam seribu bahasa Aku murka Merah di muka Kau hancur kuserang tanya Habis Mulutmu tak tahu berkata Kau pasrah Matamu memuntahkan air mata Langkahmu menjauh di ujung senja Waktu bertindak Tak tahan Ia kirim balik murkaku Tepat di mukaku Ia tahu, Aku tak tak pantas untukmu Lalu aku, Menyesal Kehilanganmu Tubuhmu Pelukmu Cintamu.

Obsesif Kompulsif

Malam semakin larut Dalam sepi yang mencair di terang bulan Aku mencarimu Mencari kabarmu Sebangkai obrolan manis Telah tewas dengan tragis Kau hilang dari detakkan waktu Tawa hangatmu membeku Datang kembali lalu pergi Semudah itu kau mainkan hati Kau beri padaku rasanya mati berkali-kali Tanpa sekalipun aku mengerti Maka aku lepas kau Tapi jangan salahkan aku jika aku tak seikhlas dulu Aku menolak itu Tapi kau pergi saja Aku takkan menahanmu Maka kuharap kau lupa cara mencinta selain padaku Aku takkan berhenti membayangimu Bila memang itu tak terjadi Dan kau menjalin cinta lagi Tak apa Aku harap kau berpisah secepatnya Namun jika memang kau menemukan orang yang tepat untukmu Itu juga tak apa Aku akan menunggumu hingga reinkarnasi Mungkin di kehidupan selanjutnya Aku adalah pasanganmu dalam hidup dan mati.

Media dan Rasa

Jari-jariku mengusap-usap layar menyala Berharap rindu menemukan pemiliknya Di tiap jejak yang tertinggal Dalam sosial media Mataku mulai lelah Mencari dengan pasrah Kalimat-kalimatmu Yang kuharap untukku Untukmu mengabari wajib dilakukan Kabarmu wajib didengarkan Notifmu wajib ditunggu Hadirmu wajib dirindu Pesan akan memberi kesan Walau mata tak saling bertatapan Suara akan menghangatkan Walau raga tak menerima pelukan Namun realita beda dengan maya Tubuhmu tak sedekat chatmu Pelukmu tak sehangat suaramu Nyalimu tak sekuat sinyalmu. Jauh terasa dekat Dekat terasa jauh Canggung saat bertemu Rindu jika tak bertemu Entah salah siapa Mungkin perabaku yang kurang perasa? Atau hatiku yang kurang peka? Pada akhirnya timbul tanya Kala rindu sedang jadi-jadinya Namun logika sedang membajak rasa "Aku merindukanmu atau stickermu?"

Pernah

Hujan pernah begitu menyenangkan Walau kini begitu menyakitkan Dalam ingatan Dalam perasaan Pernah akan selalu jadi kebanggaan Karena setidaknya ada jejakmu di lantai kenangan Ada sentuhmu di angan-angan Walau jauh dari kenyataan Karena memilkimu adalah berkah Senantiasa menanam senyum yang merekah Walau akhirnya Kita menyerah

12-21

Hari ini Bukan 20 tahun lalu Bangsa ini telah berdiri Dengan demokrasi Atas segala yang mati Kasus pelanggaran HAM hilang ditelan bumi Penguasa pamit undur diri Membasuh tangan atas darah yang mati Membasuh otak agar terlihat suci Membohongi nurani Perbedaan jadi senjata Menghancurkan yang sudah lama jadi saudara Menjarah jadi hal biasa Menikam jadi halal rasanya. Dalang kerusuhan boleh pergi Lebih bersyukur lagi jika ia sadar dan mati Namun mari kita tanam janji untuk negara Bahwa kita takkan pernah lupa.

Opera

Akhirnya nyata sudah semua Aku kembali di hampiri luka Menunggu di bait-bait lara Menumpahkannya menjadi air mata Aku ikut bahagia jika kau bahagia Kata yang menjadi pemeran utama Dibalik sutradara yang terluka Dalam memainkan diorama bernama cinta Aku balut pertunjukkan itu Dengan senyum bahagia hanya untukmu Semuanya bertepuk tangan Mereka puas dengan pertunjukkan Atas kepura-puraan Melepasmu tanpa beban.

Kabar

Ada detak yang terganti sesak Ada debar yang terganti sabar Kabarmu yang ku tunggu Sukses menikam dalam hatiku Kau berkekasih Hatiku tertatih Kabar itu sukses menusuk telingaku Melenyapkan genggamanmu di tanganku Menghapus aroma parfummu di hidungku Mengusir hadirmu di rangkulanku Kini aku tahu Aku hanya rentetan kesedihan di balik tiap tawamu Lupa paling di inginkan oleh benakmu Pergi paling di ikhlaskan oleh hatimu Jejakku berhenti kau rangkum Matamu beralih ke lain senyum Maka dari itu izinkan aku mundur Membawa hati yang telah hancur.

Bohong

Aku senang sekali Kau akhirnya mengumumkan pada dunia Bahwa hatimu kini sudah ditinggali Aku bahagia sekali Kau tersenyum dengannya Pertanda kau menemukan pengganti Sungguh aku ikut senang Kini kau ada yang sayang Karena denganku dulu Kau hanya memeluk bayang Sungguh Ini kutunjukkan senyum lengkap dengan gigi Kini jagalah hati Jangan biarkan lagi hujan tumbuh di pipi Karena aku sangat senang sekali Hadirku yang sudah lama kau benci Terganti.

Hujan

Langkahku hilang Ditelan pasang Bersama sayang Melayang-layang Rasaku sirna Dibakar senja Bersama lara Membawa nelangsa Namun kamu Tetap sama Seperti biasa Luar biasa Kamu adalah bumi Kamu tetap asri Aku hujan Rintikku berakhir Di selokan Hadirku tak berpengaruh Untukmu Karena Kala aku pergi Kau telah Menemukan pelangi.

Petualang

Aku orang yang jarang bertualang. Aku takut aku kehilangan tempat pulang. Iya, itu hatimu. Aku sama sekali tak tertarik dengan hal itu. Karena aku yakin seindah-indahnya senja, tak pernah ada yang seindah matamu. Sesulit-sulitnya mendaki gunung, tak pernah ada sesulit menaklukanmu. Sedalam-dalamnya laut, tak pernah ada sedalam rasaku padamu. Karena kamu adalah tempat pulang, sekaligus tempat bertualang paling luas. Kamu adalah rumah, sekaligus medan perang paling buas. Untukku, Kamu berbahaya teraman di dunia. Kamu penjahat terbaik di dunia. Kamu sampah paling berharga yang aku punya. Lalu aku mencoba bertualang. Sesekali yang menjatuhiku berkali-kali. Tempat pulangku pergi. Setelah terlalu jauh aku tak di sisi. Iya, aku terlena oleh senja yang tak seberapa indahnya. Aku terengah oleh gunung yang tak seberapa tingginya. Aku menyelam pada laut yang tak seberapa dalamnya. Kini, tak ada telinga tempat suaraku bercerita. Tak ada tawa tempat leluconku menggema. Tak ada tatap te...

Begitu

Begitu cara mencinta Jangan tunggu aku siap Karena kalau aku siap Mencintamu tak lagi seru Begitu cara merindu Jangan tunggu aku siap Karena kalau aku siap Kau tak benar" merinduku Begitu cara meninggalkan Jangan tunggu aku siap Karena kalau aku siap Aku takkan melepasmu

Belum Tertulis

Memetik tiap detik Berjatuhan dalam rintik Mulai lelah mencintamu tanpa titik Jatuh lagi Ada yang mati Pen semesta macet Kisah kita tak nyata Pensilnya terlalu tipis Bahkan untuk menggambar senyummu Yang kini buatku meringis

Curhatan

Ini kisah antar dua manusia Yang tak bisa dimengerti logika Mereka terlalu banyak main rasa Lelakinya pandai bersandiwara Topengnya adalah punya banyak wanita Padahal hanya ada satu yg tinggal di hatinya Wanitanya posesif luar biasa Tapi sukar mengakuinya Bayangkan mereka bertemu Gengsi si pria Dan ego si wanita Hasilnya? Salah paham memenuhinya Bersamakah mereka akhirnya? Semoga iya Agar penulis puisi ini Tak pusing memikirkan solusi.

Perindu

Beritahu aku Salahkah aku meminta kejelasan? Ketika semua terlalu aneh utk berjalan Senyummu berganti ambigu Yang bodohnya membuatku terus mengirimkan rindu Puas permainkanku? Tak apa, toh rinduku akan terus mengalir untukmu Begini saja, Jangan ganggu aku untuk merindumu Dengan memberikan harap atau senyum yang mampu menerbangkanku Aku tau kau tak bisa membalas rasaku Maka biar aku menjalankan tugasku Merindu tanpa dirindu.

Penyair 2

Jika aku pelukis Mahakarya lukisanku adalah kamu Dengan latar kita di masa lalu Jika aku tukang kayu Aku takkan membuat bangku Aku akan mengukir namaku di hatimu Sayangnya aku penyair Aku tak bisa sihir Melukis Atau mengukir Yang aku bisa hanya menulis puisi Tentang sesalku kehilanganmu.

Surat menuju Kahyangan

Bumi, 10 Februari 2018 Pujaanku, Bidadari yang sepertinya dari Kutub Selatan Di Kahyangan Selamat pagi, siang, dan malam Bila kau membaca ini, berarti surat ini sudah mencapai Kahyangan. Jauh perjalanan ke sana, kata kurirnya. Aku tidak pakai Pos Indonesia. Mereka bilang alamat ini mengada-ada. Padahal mereka belum bertemu kamu saja. Kalau sudah, baru mereka percaya, kemustahilan memang ada. Oiya, kalau kamu tanya kurir mana yang mengirim surat ke Kahyangan, aku beri tahu namanya, Doa. Iya, surat ini takkan berbentuk kertas dan kau baca. Surat ini akan langsung membisik di telingamu, lalu membawamu menyelam ke dalam rasa. Canggih memang, teknologi yang bukan terbuat dari kerjaan tangan, melainkan dari iman. Aku mengirim surat ini karena aku rindu. Habis, kini kau sedingin es batu. Tega sekali, padahal aku tak pernah memaksa kau membalas rasaku. Bagaimana bisa aku selancang itu? Menerima senyummu saja sudah membuatku terkagum dan membatu. Ya, sudah itu saja. Aku...

Ambigu

Kamu membawa ragu Menggiringku ke dalam abu-abu Sikapmu tak tentu Menjejal tanya yg memburu Cintaku menggebu dalam bisu Rinduku mengembun diantara ragu Senyummu masih jadi nomor satu Walau matamu tak pernah lagi menatapku. Hey, cairkan dinginmu! Semesta saja tak bisa menebak teka-teki mu Lalu kau buat aku yg tak peka ini terlihat dungu Tega kamu, untung aku mencintaimu.

Alasan

Matamu adalah alasanku memakai kacamata Sebab kilaunya mampu membuatku buta. Suaramu adalah alasanku memecahkan gendang telinga Sebab alunannya mampu menggetarkan jiwa. Senyummu adalah alasanku diet gula Sebab garisnya mampu memaniskan dunia.

Runtuh

Aku runtuh Air mata bercampur peluh Jiwaku bergemuruh Tidak lagi utuh Hancur Lebur Gelap memaksaku mendekap Luka menolak terlelap Menghujaniku Dengan rindu Temukan jasadku Disana akan tergambar Luka yg teramat besar Menuliskan namamu.

Pulanglah

Pulanglah Rinduku berdarah-darah Anganku berpasrah Mimpiku menyerah Pulanglah Kau pergi ke arah yang salah Kompasmu tak berarah Ia bukanlah rumah. Kembalilah Biarkan ragamu kembali terjamah Lalu kita rajut kisah Sadarlah Pulangmu Bukan palung itu.

Tapi

Tapi Kau pergi Aku mati Mendambamu Tapi Kau tak kembali Memusnahkan janji Juga mimpi Tapi Kau tak ada lagi Aku larut Dalam sepi.

Postingan populer dari blog ini

Tenang

Sudah Enam Tahun

Perempuan dengan Amarah di Dadanya