Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2018

Sudah Enam Tahun

dahulu kepalaku begitu resisten atas ide bahwa ada suatu masa kita saling lupa tak pernah sedikitpun bertegur sapa atau bersikap seolah cinta yang gegap gempita itu tak pernah ada bahkan untuk melintas saja ide itu di kepala rasanya begitu menakutkan namun hari ini setidaknya menuju enam tahun ketika pada akhirnya kembang api dari cinta itu membakar hasrat kita untuk bersama, ketika pada saat itu semakin bertahan akan semakin sirna menjadi debu dan kian tak kasat mata, ketika pilihan untuk mencanangkan masa depan berganti menjadi melupa bersama-sama atau dilupakan sendirian, manifestasi ketakutan itu telah lama terjadi. sudah begitu jarang terlintas namamu mengusik ketenanganku bahkan telingaku kian lupa akan suaramu sehingga ketika mencoba untuk mengenangmu rasanya seperti menonton film bisu  tapi apakah kita benar-benar lupa? aku menemukan bahwa begitu menarik ketika manusia bisa melawan kodratnya untuk merasakan sesuatu begitu menyakitkan demi menjaga sucinya kesepakatan, batasa...

Berubah

Kita berubah Menyayangimu kini salah Kita kehilangan arah Pipimu kembali basah Maaf, Kata yang selalu jadi juara Atas ketidakmampuan kita Untuk selalu bersama Lalu, Sebeginikah semesta membenciku? Hingga rasa yang begitu tulus tak cukup untukmu Beda, Satu kata pemisah segalanya Renjanaku diubahnya jadi lara Seenak jidatnya. Kau menyerah Aku pasrah Kita berubah.

Tidak Ada Senja

Tidak ada senja hari ini Ia bersembunyi di matamu Penghujan di pipiku Tidak ada senja malam ini Memaksaku berintuisi Memandang langkahmu pergi Tidak ada senja esok pagi Namanya juga pagi Bagaimana sih?

Ahmad Kecil

Ahmad kecil seorang pejuang Ia pandai mencari uang Tiap malam ia berdagang Sambil bergadang Umurnya mungkin tak sampai separuhku Tubuhnya mungil namun tangguh Tiap malam ia menenteng dagangannya di bahu Sambil berteriak parau, "tisu, tisu..." Kakinya terbiasa berjalan jauh Pembelinya bermacam-macam Ada yang butuh Ada yang ibanya luruh Ia kembali ke rumah saat purnama sedang tinggi-tingginya Lalu bangun sebelum sang surya tunjukkan wajahnya Habis, ia harus selesaikan tugas sekolah Demi kejar mimpi-mimpinya Ahmad kecil pemberani Siapapun ia ladeni Ia bahkan tak takut Bambang Preman kekar berwajah garang Ia tetap periang Walau kadang sandalnya putus di jalan Walau kadang lelahnya berbanding terbalik dengan penghasilan Setidaknya ia pulang bawa uang Untuk membantu ibunya tersayang.

Surat Lagi

Masih di Bumi, 12 Oktober 2018 Untukmu, Pahit termanisku. Dimanapun tempatmu Selamat malam. Entah ini suratku yang keberapa untukmu. Berbeda ya? Iya, surat ini takkan menghampiri tanganmu seperti surat-suratku yang lain. Matamu akan melihatnya bersama beberapa pasang mata lain. Kenapa? Loh kok masih tanya. Kau tahu sendiri, menatapku saja kini kau sudah tak sudi. Lalu mengapa hanya selamat malam? Begini, semestaku berhenti berotasi. Iya, benar-benar berhenti. Bagaimana tidak? Mataharinya memutuskan pergi. Ia kini tak punya semangat, bahkan untuk berputar pada porosnya sendiri. Dan disinilah aku, menikmati malam abadi. Bagaimana sudah tak rindu, sudah tak sayang, sudah lupa, atau sudah menemukan pengganti? Bagaimana pun itu kau pasti akan selalu bahagia. Tahu darimana? Feeling saja dari si manusia peka. Ye gak? Tahukah kau aku sedang kehabisan kata? Iya, rasaku ini hanya ingin ditumpahkan. Tak nyaman ia berlama-lama di kepala. Makanya aku terjebak disini menggoreskan ...

Influenza

Aku melemah Pucat pasi Lelah Penat Kesal Badanku terjal Tenggorokku membengkak Peparuku berteriak Kepalaku memberontak Hidungku mencair Melarang oksigen masuk Membeku dan menusuk Tertidur Menahan kesehatan yang mundur.

Berlabuh

Aku mengembara terlalu jauh Kuharap aku sudah berlabuh Menurunkan jangkarku Tepat di hatimu Aku menujumu Pulang Karena kau rumah Untuk rasa yang kusebut sayang Langkahku mencarimu Di dermaga itu Sekadar melepas rindu Atau lancang ingin memilkimu Aku menemukanmu Di bawah senja Yang lebih dulu Terbenam di matamu Kau rekahkan senyummu Kau runtuhkan raguku Kau hancurkan egoku Kau sembuhkan lukaku Jadilah sudah, Aku tenggelam Terlalu dalam Kelak, Kau temukan jasadku Mengambang Di laut asmaramu.

Postingan populer dari blog ini

Tenang

Sudah Enam Tahun

Perempuan dengan Amarah di Dadanya