Sudah Enam Tahun

dahulu kepalaku begitu resisten atas ide bahwa ada suatu masa kita saling lupa tak pernah sedikitpun bertegur sapa atau bersikap seolah cinta yang gegap gempita itu tak pernah ada bahkan untuk melintas saja ide itu di kepala rasanya begitu menakutkan namun hari ini setidaknya menuju enam tahun ketika pada akhirnya kembang api dari cinta itu membakar hasrat kita untuk bersama, ketika pada saat itu semakin bertahan akan semakin sirna menjadi debu dan kian tak kasat mata, ketika pilihan untuk mencanangkan masa depan berganti menjadi melupa bersama-sama atau dilupakan sendirian, manifestasi ketakutan itu telah lama terjadi. sudah begitu jarang terlintas namamu mengusik ketenanganku bahkan telingaku kian lupa akan suaramu sehingga ketika mencoba untuk mengenangmu rasanya seperti menonton film bisu  tapi apakah kita benar-benar lupa? aku menemukan bahwa begitu menarik ketika manusia bisa melawan kodratnya untuk merasakan sesuatu begitu menyakitkan demi menjaga sucinya kesepakatan, batasa...

Jumat

Jumat pagi itu berbeda
Soekarno yang kelelahan merebah
Malaria menyerangnya
Rasanya baru semalam ia bersama dua rekannya
Mencoret-coret sebuah kertas
Kertas yang dipercaya
Akan melahirkan sebuah bangsa

Seminggu ini sibuk untuknya
Ia bertentangan dengan Sjahrir dan kawan-kawannya
Sepertinya mereka kebelet merdeka
Bahkan kemarin ia repot-repot diasingkan ke Rengasdengklok bersama Hatta
Demi menuruti permintaan mereka,
Darah muda memang keras kepala.

Ia tahu ada cukup banyak massa
Yang mengelilingi rumahnya
Hatta juga sudah ada bersiap untuk mendampinginya
Dan ia buka secarik kertas itu
Secarik kertas yang akan membuat bangsanya bersatu
Secarik kertas yang bercampur darah dan keringat
Atas usaha-usaha mengusir kompeni hingga negeri matahari

Ia diam,
Ia yakin masih bisa menahan sakitnya
Ia bangun
Fatma istrinya, juga terlihat lelah
Semalam suntuk ia menjahit bendera
Yang akan dikibarkan di upacara pertama
Sebagai sebuah bangsa

Soekarno memutuskan banhkit dan keluar
Terlihat banyak kepala yang menghadapnya
Bahkan ada beberapa kamera
Walau ia tahu ada tentara jepang juga bercampur disana

Upacara di mulai
Ia menegakan badannya di kondisi yang lemah
Ia tahu, sakitnya tak bisa menunda bangsanya untuk merdeka

Dalam satu tarikan napas ia bacakan isi kertas itu
Mulutnya mengucap kata demi kata
Meraba rasa demi rasa
Melonjak-lonjak di dadanya
Ia tak sabar menyelesaikan kalimatnya

Dan sudah
Ia tutup mulutnya itu
Ia pergi, membuang kertas itu
Sorak-sorai menyambutnya
Haru menikam di dadanya
Kini malarianya tak terasa
Ia merdeka
Bersama bangsanya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenang

Sudah Enam Tahun

Perempuan dengan Amarah di Dadanya