Sudah Enam Tahun

dahulu kepalaku begitu resisten atas ide bahwa ada suatu masa kita saling lupa tak pernah sedikitpun bertegur sapa atau bersikap seolah cinta yang gegap gempita itu tak pernah ada bahkan untuk melintas saja ide itu di kepala rasanya begitu menakutkan namun hari ini setidaknya menuju enam tahun ketika pada akhirnya kembang api dari cinta itu membakar hasrat kita untuk bersama, ketika pada saat itu semakin bertahan akan semakin sirna menjadi debu dan kian tak kasat mata, ketika pilihan untuk mencanangkan masa depan berganti menjadi melupa bersama-sama atau dilupakan sendirian, manifestasi ketakutan itu telah lama terjadi. sudah begitu jarang terlintas namamu mengusik ketenanganku bahkan telingaku kian lupa akan suaramu sehingga ketika mencoba untuk mengenangmu rasanya seperti menonton film bisu  tapi apakah kita benar-benar lupa? aku menemukan bahwa begitu menarik ketika manusia bisa melawan kodratnya untuk merasakan sesuatu begitu menyakitkan demi menjaga sucinya kesepakatan, batasa...

Surat Lagi

Masih di Bumi, 12 Oktober 2018

Untukmu,
Pahit termanisku.
Dimanapun tempatmu

Selamat malam.

Entah ini suratku yang keberapa untukmu. Berbeda ya? Iya, surat ini takkan menghampiri tanganmu seperti surat-suratku yang lain. Matamu akan melihatnya bersama beberapa pasang mata lain.

Kenapa?
Loh kok masih tanya. Kau tahu sendiri, menatapku saja kini kau sudah tak sudi.

Lalu mengapa hanya selamat malam? Begini, semestaku berhenti berotasi. Iya, benar-benar berhenti. Bagaimana tidak? Mataharinya memutuskan pergi. Ia kini tak punya semangat, bahkan untuk berputar pada porosnya sendiri. Dan disinilah aku, menikmati malam abadi.

Bagaimana sudah tak rindu, sudah tak sayang, sudah lupa, atau sudah menemukan pengganti?

Bagaimana pun itu kau pasti akan selalu bahagia. Tahu darimana? Feeling saja dari si manusia peka. Ye gak?

Tahukah kau aku sedang kehabisan kata? Iya, rasaku ini hanya ingin ditumpahkan. Tak nyaman ia berlama-lama di kepala. Makanya aku terjebak disini menggoreskan rasa tanpa menyiapkan kata-kata. Ya, beberapa rasa memang menolak untuk bicara.

Aku rindu.

Tuh kan sekalinya bicara dia lancang. Maaf ya, kadang rasaku lupa. Hal yang dulu jadi kebiasaan kini adalah sebuah kemewahan. Tapi ijinkan dia lancang dulu di surat ini, boleh?

Aku rindu. Iya, rindu mungkin adalah residu dari sebuah kisah yang telah punah. Jika diabaikan memang aku akan terbiasa. Namun aku ingin mengabadikannya. Pikirku, setidaknya residunya bisa abadi, tak seperti kisahnya.

Atau jangan-jangan ia bisa membawamu kembali seperti yang ia lakukan terakhir kali?

Lupakan. Aku termakan delusi. Terlalu banyak halusinasi, tak sadar bahwa terbalasnya rasaku kini hanyalah sebuah lamunan.

Toh kau pasti sudah membenciku. Setelah kuberi tahu betapa berengseknya aku dulu.

Lebih dari itu kini aku sadar. Sangat sadar. Kamu memang harus lebih cinta pada Tuhanmu daripada ciptaannya. Jelas ia merasa terkhianati. Bagaimana bisa kau jatuh hati pada orang yang jalannya tak mengarah padamu sama sekali?

Aku sadar. Aku harus nyaman atas sesak yang menggantikan debar. Aku harus terima untuk melara dengan penuh kebebasan. Toh itu lebih baik daripada bahagia tanpa kejelasan kan?

Aku sadar. Tapi aku masih sabar. Rehatku baru saja kelar. Tenang saja, kau tak usah peduli. Nanti juga jika terlalu sulit, aku menyerah sendiri.

Aku akan tetap menjalani hidupku seperti maumu. Aku akan melangkah atau bahkan menemukan pengganti. Tapi jika memang aku diijinkan untuk menciptakan takdirku sendiri, tenang saja, kau akan jadi orang pertama yang melihat janji-janjiku ditepati.

Itu saja. Pergi sejauh mungkin seperti yang kau janjikan. Jangan pernah kembali, sampai keadaan mengijinkanku menjemputmu lagi.

Bukan siapa-siapamu,

Peka-man.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenang

Sudah Enam Tahun

Perempuan dengan Amarah di Dadanya